Bissu
Published on
05.08 //
Budaya
Sosok berbaju
Bodo Hitam ini adalah Puang Lolo Bissu. Sekarang beliau adalah satu-satunya
Bissu di Sulawesi Selatan sebagai generasi terakhir pewaris tradisi Bugis
Klasik. Komunitas yang makin berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan
tiada. Sedikit pencerahan, Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama bagi
Bugis kuno (Sulawesi Selatan, Indonesia) pra Islam yang makin berkurang personilnya.
Umumnya mereka adalah pria yang bersifat kewanitaan (calabai/ waria), dan dalam
kehidupan keseharian selalu tampil sebagai wanita. Walaupun Bissu adalah
calabai, mereka bukan calabai biasa. Agar dapat menjadi Bissu, seorang calabai
harus ditasbihkan (irebba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran
dalam upacara-upacara ritual. Mereka juga memliki kedudukan dalam masyarakat
sebagai penjaga pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai oleh roh-roh
nenek moyang. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi
lisan Bugis kuno, adalah salah satu kekayaan keberagaman budaya nusantara. Maka
dari itu adat dan tradisi kita harus dipertahankan.
Ketika sedang persiapan “Mappasilolongeng Adek” Bissu, salah satu mata
rantai program pengutan komunitas Bissu yang dilaksanakan oleh Latar Nusa
di tahun 2003, seorang maestro Bissu Soppeng H. Sakke (95 tahun) meninggal jam
07.00 pagi hari Rabu tanggal 17 September 2003. Sebelas jam sebelum meninggal,
dia masih tegar dan berucap: “... suatu waktu pemerintah akan membutuhkan
Bissu, tetapi sudah tidak ada lagi ... mereka akan menyesal ...” (rekaman
video, 11 September 2003 jam 08.30 malam). Kenyataannya memang demikian,
komunitas Bissu hanya dilirik oleh pemerintah bila meraka merasa membutuhkannya
saja, setelah itu mereka masa bodoh. Satu persatu komunitas ini berkurang.
Tanggal 15 Oktober 2002 lalu, Wahide, seorang pemusik Bissu senior Sigeri juga
wafat. Menyusul Bissu Puang Huseng seorang Bissu senior di pinggir sungai
Pallime Bone (Februari 2003); lalu Bissu Made seorang Bissu senior Segeri yang
meninggal dalam kesendiriannya (19 Agustus 2003).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Latar Nusa, menurut Halilintar Latif,
berbagai peristiwa yang berusaha melenyapkan eksistensi mereka memang sudah
telah dialami oleh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan. Mereka telah melewati
jaman dimana mereka harus diburu bahkan dibunuh untuk dilenyapkan. Saat itu,
nyawa seekor anjing lebih berharga dibanding nyawa mereka. Masyarakat Bugis
sebagai pemilik tradisi ini, kini sebagian besar bahkan menyudutkan komunitas
Bissu ini. Berbagai tekanan menjadikan mereka sebagai suatu komunitas yang
terasing, walau beberapa diantaranya masih dapat tegar bertahan dengan
berkompromi degan perubahan. Komunitas Bissu cerai berai, jumlah dan
kualitasnya semakin menyusut dari hari ke hari. Melihat pola regenerasi dan
dukungan mayoritas masyarakat Bugis masa kini, maka dapat dipastikan bahwa bissu-bissu
yang tersisa sekarang adalah generasi terakhir pewaris tradisi Bugis klasik
ini.
Memikirkan eksistensi mereka dan keberlanjutan tradisi ini sudah di ujung
tanduk, maka Halilintar Lathief dan Latar Nusa sejak tahun 1999 secara intensip
mendampingi dan berusaha merivitalisasi komunitas ini. Upaya mapping, penelitian,
dialog, kampanye, pemugaran rumah upacara, pelaksanaan upacara, pelantikan
lembaga Bissu, pelatihan dan magan telah dan semetara di upayakan. Komunitas
Bissu Segeri telah memiliki kembali rumah upacara yang baru, upacara mulai
berjalan rutin, dan harkat mereka mulai dihargai kembali di tengah masyarakat.
Dampak dari kampanye ini adalah mulai diliriknya kembali komunitas ini oleh
berbagai pihak. Pemerintah melihatnya sebagai potensi “souvenir” yang dapat
dijual, peneliti dan seniman mulai memanfaatkannya sebagai lahan eksplorasi
segar untuk kepentingan mereka... tanpa secara bijak mempertimbangkan efek
perbuatan mereka pada komunitas Bissu secara keseluruhan. Ritualitas mereka
mulai digeser oleh kekuasaan dan kekuatan kapital.
Menyadari hal itu, salah satu langkah yang sedang dilakukan Latar Nusa yang
melibatkan seluruh komunitas Bissu yang masih tersisa, yaitu mengadakan
Kegiatan yang disebut “Mappasilolongeng Adek” (Dialog mempertemukan adat)
yang selain sebagai usaha regenerasi, dan kesepahaman diantara komunitas dengan
pemerintah dan agamawan, juga diharapkan memberi pengetahuan luas kepada
masyarakat yang selama ini acuh dan gamang terhadap eksistensi Bissu. “Mappasilolongeng
Adek” merupakan kelanjutan dari berbagai dialog yang telah di gelar di
beberapa wilayah adat. Latar Nusa dapat dikatakan pelopor sebagai langkah maju
dalam penguatan komonitas Bissu yang termarjinalkan oleh masyarakat Bugis
pemilik tradisi itu. Semoga apa yang telah dilakukan oleh Latar Nusa
berdampak nyata terhadap keberlanjutan tradisi yang telah diambang kepunahan.
Ditulis Oleh: Yuger
Nara Sumber: Dr.
Halilintar Lathief, MPd
Bangsa yang tidak melestarikan budayanya merupakan tanda awal kehancuran identitas bangsa itu. Ternyata masih ada seorang perempuan bugis yang berusaha melestarikan budayanya.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya. Salam Budaya
BalasHapusMantap sekali dan lanjutkan
BalasHapus